A. Sejarah HAM di Indonesia
Menurut Hendarmin Ranadineksa Hak Asasi Manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga Negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga Negara oleh Negara. Artinya ada pembatasan-pembatasan tertentu yang di berlakukan pada Negara agar warga Negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Tetapi nyatanya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Negara terhadap hak-hak asasi warga negaranya, seperti kekejam yang dilakukan oleh Negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam perang dunia II. Hal ini mendorong pemikiran bahwa perlu adanya aturan tertulis yang melindungi hak-hak asasi warga Negara agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran serupa di kemudian hari.
Istilah hak asasi manusia di Indonesia, sering disejajarkan dengan istilah hak- hak kodrat, hak-hak dasar manusia. natural rights, human rights, fundamental rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamental rechten Menurut Philipus M Hadjon, di dalam hak (rights), terkandung adanya suatu tuntutan (claim) .
Hak asasi sendiri sudah menjadi pembahasan sejak abad XVII setelah perang dunia ke II dan pada pembentukan PBB pada tahun 1945, menggantikan natural right yang menjadi kontroverasi karena pemahaman dan konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam. Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positif) dan hak-hak sosial (sosiale grondrechten). Pada masa ini munculnya Piagam PBB.
Pada tanggal 10 Desember 1948 PBB mendeklarasikan piagam Hak Asasi Manusia yaitu Universal Declaration of Human Rights yang menjadi Internasional yang mengilhami instrument tambahan dan deklarasi HAM lainnya.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar Negara-bangsa) maupun ke dalam (intra Negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di Negara masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi HAM se-Dunia itu harus senantiasa menjadi criteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahannya.
Sebagai sebuah pernyataan atau piagam Universal Declaration of Human Rights baru mengikat secara moral namun belum secara yuridis. Tetapi meskipun tidak mengikat secara Yuridis namun dokumen ini memiliki pengaruh moril, politik, dan edukatif yang sangant besar Dokumen ini melambangkan “commitment” moril dari dunia internasional pada norma-norma dan hak asasi.
Agar pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus di tuangkan dalam perjanjian unilateral. Tanggal 16 desember 1966 lahirlah Convenant dari sidang umum PBB yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasi Convenant (perjanjian) tersebut.
Perjanjian tersebut memuat :
a. Perjanjian yang memuat hak-hak ekonomi, social dan budaya, (Convenant on economic, social and culture), memuat hal-hal sebagai berikut; hal atas pekerjaan (Pasal 6), membentuk serikat pekerja (Pasal 8), hak pension (Pasal 9), hak tingkat hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan hak mendapat pendidikan (Pasal 13)
b. Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Convenant on civil and political rights) yang meliputi ; Hak atas hidup (Pasal 6), kebebasan dan keamanan diri (Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan peradilan (Pasal 14), kebebasan berfikir dan beragama(Pasal19), kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21), dan hak berserikat (Pasal 22).
Semula HAM ini hanya di akui di Negara-negara maju saja, Indonesia menjadi salah satu anggota PBB dan sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka Negara berkembang seperti Indonesia mau tidak mau, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrument HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia .
HAM bukanlah wacana yang asing dalam pelaksanaan politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan mengenai HAM dalam ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meski demikian pada periode-periode emas tersebut wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki tiga undang-undang dasar dengan empat kali masa berlaku yaitu : Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku mulai dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang di berlakukan 17 agustus 1950 – 5 Juli 1959. Lalu sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang konstitusi Negara Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam konstitusi RIS tentang HAM di atur dalam pasal 7 - 33. Sedangkan dalam UUDS tahun 1950 tentang HAM ini di atur dalam pasal 7 – 34. Pengaturan tentang Hak Asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan dari pasal-pasal yang terdapat dalam konstitusi RIS hanya berubah satu kalimat saja dan penambahan satu pasal.
Ketika para pendiri negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara RI tahun 1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo memandang HAM sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang karenanya tidak cocok dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara M. Yamin berpendapat bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.
Dari pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk memasukkan beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya adalah tampak pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan UUDS Tahun 1950 yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM, tentu saja pemuatan HAM dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Kemudian berbagai pihak berpendapat bahwa untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru telah menyusun Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warg Negara. MPRS telah menyampaikan nota MPRS kepada presiden dan DPR tentang pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi di berlakukan. Dapat dilihat bahwa pada saat itu pemerintahan Orde abaru bersifat anti terhadap piagam HAM, dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah di atur di berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk menghapus kekecewaan pada kepada bangsa Indonesia terhadap piagam HAM, maka MPR pada sidang Istimewanya pada tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Apratur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Ketetapan ini juga menegaskan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun Internasional dan kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional (yang kemudian digabungkan dengan Depatemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) membuat RAN HAM harus disesuaikan.
Sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 129 Tahun 1998 maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang merupakan penetapan dari pengesahan Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia)
Pada tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dalam UU HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan Kewajiban Dasar Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran terhadap HAM.
B. HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945
Memasukan norma HAM ke dalam Undang-undang Dasar Indonesia merupakan perjuangan yang panjang. Pada awal Negara di bentuk telah menjadi pertentangan antara pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu atau tidaknya HAM dimasukan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pertentangan tersebut terjadi karena adanya pandangan bahwa prinsip HAM identik dengan ideology liberal-individual yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa.
Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui adanya pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah dicantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud semata-mata :
1. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan
2. untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal retroaktif) hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya rumusan Pasal 28I ayat (1) dapat diterima dan disahkan dengan pengertian yang utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh MPR RI. Sedangkan kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama terjawab dengan rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang diatur dalah undang-undang pengadilan HAM.
Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah rumusan Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula tiga baris pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya itu” setelah kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2). Penambahan kata “kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan meminta agar dua kata tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang sangat keberatan dengan penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut tercantum juga dalam pasal 29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini yang disetujui bersama adalah mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurananinya.
Berikut adalah nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945:
1. Kemerdekaan ialah hak segala bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea pertama )
2. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (Pembukaan UUD, alinea pertama )
3. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pembukan UUD 1945, alinea ke empat)
4. Memajukan kesejahteraan umum (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
5. Mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
6. Ikut melaksanakan ketertiban dunia (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
7. Hak atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945)
8. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2 UUD 1945)
9. Hak dan kewajiban ikut serta dalam upaya pembelaan Negara (Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945)
10. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945)
11. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28 UUD 1945)
12. Hak untuk hidup (Pasal 28A UUD 1945)
13. Hak bekeluarga (Pasal 28B UUD 1945)
14. Hak mengembangkan diri (Pasal 28C UUD 1945)
15. Hak mendapatkan keadilan (Pasal 28D UUD 1945)
16. Hak Kebebasan (Pasal 28E UUD 1945)
17. Hak berkomunikasi (Pasal 28F UUD 1945)
18. Hak mendapatkan keamanan (Pasal 28G UUD 1945)
19. Hak mendaptkan kesejahteraan (Pasal 28H UUD 1945)
20. Hak memperoleh perlindungan (Pasal 28I UUD 1945)
21. Kewajiban menghormati hak orang lain (Pasal 28J UUD 1945)
22. Kewajiban tunduk pada undang-undang (Pasal 28J UUD 1945)
Prinsip HAM ini telah di akui dalam Undang-Undang Dasar negar Indonesia HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
C. HAM dalam UU No.39 Tahun 1999
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
UU No. 39 Tahun 1999 ini memuat norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM yang dihasilkan berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh statute Roma, maka masalah HAM di Indonesia telah menggunakan standar International (khususnya standar barat) yang selama orde baru berkuasa dan bahkan oleh cina dan Malaysia sangat berhati-hati dalam mengadopsinya.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia disahkan pada tanggal 23 September 1999. Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 106 pasal yang antara lain memuat hak-hak sebagai berikut :
1. Hak untuk hidup (Pasal 9)
2. Hak berkeluaga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10)
3. Hak mengembangkan diri (Pasal 3-6)
4. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19)
5. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)
6. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35)
7. Hak kesejahteraan (Pasal 36-42)
8. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)
9. Hak wanita (Pasal 45-51)
10. Hak anak (Pasal 52-66)
D. HAM Dalam Undang-Undang Lainnya Di Indonesia
1. Undang-undang No 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM baik pelanggaran HAM dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang sipil maupun militer .
Pelanggaran HAM berat yang meliputi :
a. Kejahatan Genosida
b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Menurut Pasal 8 Undang-Undang No 26 tahun 2000 Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
1) Membunuh anggota kelompok;
2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok; atau
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1) Pembunuhan;
2) Pemusnahan;
3) Perbudakan;
4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6) Penyiksaan;
7) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau strelisasi secara aksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan laim yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menrut hukum internasional;
9) Penghilangan orang secara paksa; atau
10) Kejahatan apartheid.
Pengadilan HAM berada diperadilan khusus yang berada diperadilan umum, Pengadilan HAM berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang daerah hukumnnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersnagkutan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang berdasarkan kepada UU No 39 Th 1999 bahwa Negara Kesatuan republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tipa warganegaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak yang merupakan hak asasi manusia dan agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberi jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlauan tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan yang memerlukan perlindungan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasasn dan diskriminasi .
Dalam pasal 2 UU no 23 tahun 2002 mempunyai prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang meliputi:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak
3. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Masuknya undang-undang ini yang berhubungan dengan HAM diIndonesia ini mengacu pada Pasal 28A, Pasal 28B, pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J yang terdapat dalam Undang-Undang dasar 1945 Tentang HAM.
Dalam Pasal 1 UU No 23 th 2004 kekerasan rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pengahpusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan korban rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan rumah tangga.
Ruang lingkup rumah tangga meliputi:
a. Suami, istri, anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Penghormatan hak asasi manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Nondiskriminasi; dan
d. Perlindungan korban
Setiap orang dilarangt melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap ruang lingkup rumah tangganya, dengan cara :
Kekerasan fisik
Kekerasan psikis
Kekerasan seksual, atau
Penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertidak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Sedangkan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap seorang dalam lingkup rumah tagganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Dalam Pasal 10 korban yang mengalami KDRT berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisisan. Kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pelayanan bimbingan rohani.
Sumber:
Muladi, 2005. HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. PT Refika Aditama. Bandung.
Peter Baehr, 2001 Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia,
Philipus M. Hadjon, 2007. Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi), Peradaban,
Satya Arinanto, 2005 Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. II, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta.
Darsim Budimansyah, 2004. PKn untuk SMP, Epsilon Grup, Bandung.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilah HAM
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
Hendaarmin Ranadineksa, Pengertian HAM, diunduh melalui , pada 19-09-2011 (20.00 WIB)
Hamdan Zoelvan, Konsekuensi Implementasi HAM dalam UUD 1945, diunduh melalui , pada 19-11-2011 (20.30 WIB
Menurut Hendarmin Ranadineksa Hak Asasi Manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga Negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga Negara oleh Negara. Artinya ada pembatasan-pembatasan tertentu yang di berlakukan pada Negara agar warga Negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Tetapi nyatanya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Negara terhadap hak-hak asasi warga negaranya, seperti kekejam yang dilakukan oleh Negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam perang dunia II. Hal ini mendorong pemikiran bahwa perlu adanya aturan tertulis yang melindungi hak-hak asasi warga Negara agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran serupa di kemudian hari.
Istilah hak asasi manusia di Indonesia, sering disejajarkan dengan istilah hak- hak kodrat, hak-hak dasar manusia. natural rights, human rights, fundamental rights, gronrechten, mensenrechten, rechten van den mens dan fundamental rechten Menurut Philipus M Hadjon, di dalam hak (rights), terkandung adanya suatu tuntutan (claim) .
Hak asasi sendiri sudah menjadi pembahasan sejak abad XVII setelah perang dunia ke II dan pada pembentukan PBB pada tahun 1945, menggantikan natural right yang menjadi kontroverasi karena pemahaman dan konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam. Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positif) dan hak-hak sosial (sosiale grondrechten). Pada masa ini munculnya Piagam PBB.
Pada tanggal 10 Desember 1948 PBB mendeklarasikan piagam Hak Asasi Manusia yaitu Universal Declaration of Human Rights yang menjadi Internasional yang mengilhami instrument tambahan dan deklarasi HAM lainnya.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik keluar (antar Negara-bangsa) maupun ke dalam (intra Negara bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di Negara masing-masing. Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar Negara bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa deklarasi HAM se-Dunia itu harus senantiasa menjadi criteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing Negara dalam menilai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahannya.
Sebagai sebuah pernyataan atau piagam Universal Declaration of Human Rights baru mengikat secara moral namun belum secara yuridis. Tetapi meskipun tidak mengikat secara Yuridis namun dokumen ini memiliki pengaruh moril, politik, dan edukatif yang sangant besar Dokumen ini melambangkan “commitment” moril dari dunia internasional pada norma-norma dan hak asasi.
Agar pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus di tuangkan dalam perjanjian unilateral. Tanggal 16 desember 1966 lahirlah Convenant dari sidang umum PBB yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasi Convenant (perjanjian) tersebut.
Perjanjian tersebut memuat :
a. Perjanjian yang memuat hak-hak ekonomi, social dan budaya, (Convenant on economic, social and culture), memuat hal-hal sebagai berikut; hal atas pekerjaan (Pasal 6), membentuk serikat pekerja (Pasal 8), hak pension (Pasal 9), hak tingkat hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan hak mendapat pendidikan (Pasal 13)
b. Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Convenant on civil and political rights) yang meliputi ; Hak atas hidup (Pasal 6), kebebasan dan keamanan diri (Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan peradilan (Pasal 14), kebebasan berfikir dan beragama(Pasal19), kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21), dan hak berserikat (Pasal 22).
Semula HAM ini hanya di akui di Negara-negara maju saja, Indonesia menjadi salah satu anggota PBB dan sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka Negara berkembang seperti Indonesia mau tidak mau, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrument HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia .
HAM bukanlah wacana yang asing dalam pelaksanaan politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Pembahasan mengenai HAM dalam ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan HAM, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde Baru (tahun 1966-1968). Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan HAM sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Meski demikian pada periode-periode emas tersebut wacana HAM gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki tiga undang-undang dasar dengan empat kali masa berlaku yaitu : Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku mulai dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang di berlakukan 17 agustus 1950 – 5 Juli 1959. Lalu sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang konstitusi Negara Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam konstitusi RIS tentang HAM di atur dalam pasal 7 - 33. Sedangkan dalam UUDS tahun 1950 tentang HAM ini di atur dalam pasal 7 – 34. Pengaturan tentang Hak Asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan dari pasal-pasal yang terdapat dalam konstitusi RIS hanya berubah satu kalimat saja dan penambahan satu pasal.
Ketika para pendiri negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara RI tahun 1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo memandang HAM sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang karenanya tidak cocok dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara M. Yamin berpendapat bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.
Dari pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk memasukkan beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya adalah tampak pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan UUDS Tahun 1950 yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM, tentu saja pemuatan HAM dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Kemudian berbagai pihak berpendapat bahwa untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru telah menyusun Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warg Negara. MPRS telah menyampaikan nota MPRS kepada presiden dan DPR tentang pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi di berlakukan. Dapat dilihat bahwa pada saat itu pemerintahan Orde abaru bersifat anti terhadap piagam HAM, dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah di atur di berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk menghapus kekecewaan pada kepada bangsa Indonesia terhadap piagam HAM, maka MPR pada sidang Istimewanya pada tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Apratur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Ketetapan ini juga menegaskan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun Internasional dan kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional (yang kemudian digabungkan dengan Depatemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) membuat RAN HAM harus disesuaikan.
Sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 129 Tahun 1998 maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang merupakan penetapan dari pengesahan Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia)
Pada tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dalam UU HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan Kewajiban Dasar Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran terhadap HAM.
B. HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945
Memasukan norma HAM ke dalam Undang-undang Dasar Indonesia merupakan perjuangan yang panjang. Pada awal Negara di bentuk telah menjadi pertentangan antara pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu atau tidaknya HAM dimasukan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pertentangan tersebut terjadi karena adanya pandangan bahwa prinsip HAM identik dengan ideology liberal-individual yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa.
Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui adanya pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi. Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah dicantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud semata-mata :
1. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan
2. untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal retroaktif) hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya rumusan Pasal 28I ayat (1) dapat diterima dan disahkan dengan pengertian yang utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh MPR RI. Sedangkan kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama terjawab dengan rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang diatur dalah undang-undang pengadilan HAM.
Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah rumusan Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula tiga baris pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya itu” setelah kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2). Penambahan kata “kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan meminta agar dua kata tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang sangat keberatan dengan penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut tercantum juga dalam pasal 29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini yang disetujui bersama adalah mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurananinya.
Berikut adalah nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945:
1. Kemerdekaan ialah hak segala bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea pertama )
2. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (Pembukaan UUD, alinea pertama )
3. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pembukan UUD 1945, alinea ke empat)
4. Memajukan kesejahteraan umum (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
5. Mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
6. Ikut melaksanakan ketertiban dunia (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
7. Hak atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945)
8. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2 UUD 1945)
9. Hak dan kewajiban ikut serta dalam upaya pembelaan Negara (Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945)
10. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945)
11. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28 UUD 1945)
12. Hak untuk hidup (Pasal 28A UUD 1945)
13. Hak bekeluarga (Pasal 28B UUD 1945)
14. Hak mengembangkan diri (Pasal 28C UUD 1945)
15. Hak mendapatkan keadilan (Pasal 28D UUD 1945)
16. Hak Kebebasan (Pasal 28E UUD 1945)
17. Hak berkomunikasi (Pasal 28F UUD 1945)
18. Hak mendapatkan keamanan (Pasal 28G UUD 1945)
19. Hak mendaptkan kesejahteraan (Pasal 28H UUD 1945)
20. Hak memperoleh perlindungan (Pasal 28I UUD 1945)
21. Kewajiban menghormati hak orang lain (Pasal 28J UUD 1945)
22. Kewajiban tunduk pada undang-undang (Pasal 28J UUD 1945)
Prinsip HAM ini telah di akui dalam Undang-Undang Dasar negar Indonesia HAM dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
C. HAM dalam UU No.39 Tahun 1999
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
UU No. 39 Tahun 1999 ini memuat norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM yang dihasilkan berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh statute Roma, maka masalah HAM di Indonesia telah menggunakan standar International (khususnya standar barat) yang selama orde baru berkuasa dan bahkan oleh cina dan Malaysia sangat berhati-hati dalam mengadopsinya.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia disahkan pada tanggal 23 September 1999. Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 106 pasal yang antara lain memuat hak-hak sebagai berikut :
1. Hak untuk hidup (Pasal 9)
2. Hak berkeluaga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10)
3. Hak mengembangkan diri (Pasal 3-6)
4. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19)
5. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)
6. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35)
7. Hak kesejahteraan (Pasal 36-42)
8. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)
9. Hak wanita (Pasal 45-51)
10. Hak anak (Pasal 52-66)
D. HAM Dalam Undang-Undang Lainnya Di Indonesia
1. Undang-undang No 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM baik pelanggaran HAM dilakukan oleh perseorangan, kelompok orang sipil maupun militer .
Pelanggaran HAM berat yang meliputi :
a. Kejahatan Genosida
b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Menurut Pasal 8 Undang-Undang No 26 tahun 2000 Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
1) Membunuh anggota kelompok;
2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok; atau
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1) Pembunuhan;
2) Pemusnahan;
3) Perbudakan;
4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6) Penyiksaan;
7) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau strelisasi secara aksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan laim yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menrut hukum internasional;
9) Penghilangan orang secara paksa; atau
10) Kejahatan apartheid.
Pengadilan HAM berada diperadilan khusus yang berada diperadilan umum, Pengadilan HAM berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang daerah hukumnnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersnagkutan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang berdasarkan kepada UU No 39 Th 1999 bahwa Negara Kesatuan republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tipa warganegaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak yang merupakan hak asasi manusia dan agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberi jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlauan tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan yang memerlukan perlindungan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasasn dan diskriminasi .
Dalam pasal 2 UU no 23 tahun 2002 mempunyai prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak yang meliputi:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak
3. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Masuknya undang-undang ini yang berhubungan dengan HAM diIndonesia ini mengacu pada Pasal 28A, Pasal 28B, pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J yang terdapat dalam Undang-Undang dasar 1945 Tentang HAM.
Dalam Pasal 1 UU No 23 th 2004 kekerasan rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pengahpusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan korban rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan rumah tangga.
Ruang lingkup rumah tangga meliputi:
a. Suami, istri, anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Penghormatan hak asasi manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Nondiskriminasi; dan
d. Perlindungan korban
Setiap orang dilarangt melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap ruang lingkup rumah tangganya, dengan cara :
Kekerasan fisik
Kekerasan psikis
Kekerasan seksual, atau
Penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertidak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Sedangkan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap seorang dalam lingkup rumah tagganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.
Dalam Pasal 10 korban yang mengalami KDRT berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisisan. Kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pelayanan bimbingan rohani.
Sumber:
Muladi, 2005. HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan masyarakat. PT Refika Aditama. Bandung.
Peter Baehr, 2001 Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia,
Philipus M. Hadjon, 2007. Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi), Peradaban,
Satya Arinanto, 2005 Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. II, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta.
Darsim Budimansyah, 2004. PKn untuk SMP, Epsilon Grup, Bandung.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilah HAM
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
Hendaarmin Ranadineksa, Pengertian HAM, diunduh melalui , pada 19-09-2011 (20.00 WIB)
Hamdan Zoelvan, Konsekuensi Implementasi HAM dalam UUD 1945, diunduh melalui , pada 19-11-2011 (20.30 WIB
0 Response to "Menggali Sejarah HAM Di Indonesia"
Posting Komentar